Pada bulan Februari 2012 saya mendapat tugas kantor berkunjung ke Sao Paulo, Brazil. Saya pergi bersama dengan seorang rekan kerja. Karena belum pernah ke Brazil sebelumnya, jadi ada perasaan senang tapi juga deg-degan.Apalagi sering mendengar kalau Brazil tidak kondusif bagi turis perempuan.
Biaya penerbangan langsung dari Toronto ke Sao Paulo dengan Air Canada adalah CAD$1,200 round trip. Saya cukup kaget dengan harga tersebut. Kenapa penerbangan yang memakan waktu ‘hanya’ 9 jam, tidak jauh beda dengan harga tiket ke Jakarta yang ditempuh dalam waktu lebih dari 20 jam? Ternyata penerbangan ke Sao Paulo tidak begitu banyak peminatnya, sehingga penerbangan langsung hanya sekali sehari dan membuat penerbangan menjadi mahal.
Langkah berikutnya adalah membuat visa di kedutaan Brazil yang terletak di Bloor street, pusat kota Toronto. Meskipun rekan kerja saya warga negara Kanada, ternyata dia pun juga harus membuat visa. Agak mengejutkan mengingat paspor Kanada sering bebas visa untuk banyak negara. Biaya pembuatan visa adalah CAD$150 per orang dengan waktu proses 10 hari kerja. Prosesnya tidak rumit, kok. Kami hanya menyertakan paspor yang berlaku minimal 6 bulan, form aplikasi yang sudah diisi, dan undangan dari kolega di Brazil.
Sehari sebelum keberangkatan, rekan kerja saya mulai khawatir. Dia mendengar kabar dari teman-temannya tentang bahaya menggunakan taksi di Brazil. Contohnya cerita tentang turis yang ditodong di tengah jalan ketika naik taksi, dan bahkan ada yang diperkosa. Wah ceritanya jadi mengingatkan insiden yang banyak terjadi di Ibukota Jakarta. Kalau mampir ke Jakarta stres juga kali ya dia. Akhirnya karena merasa tidak aman, kami memutuskan untuk menggunakan transportasi antar jemput hotel yang harganya 250 Real (mata uang Brazil) atau sekitar 1.2 juta rupiah! Harga ini hampir 2 kali lipat harga argo taksi yang berkisar 150 Real atau 750 ribu rupiah.
Tanggal 29 February 2012 jam 11 malam kami pergi meninggalkan Toronto dan mendarat di Sao Paulo sekitar jam 10 pagi. Cuaca di Brazil hari itu benar-benar panas. 37 derajat Celcius. Sangat berbeda jauh dengan cuaca di Toronto yang pada saat keberangkatan mencapai -8 derajat celcius.
Perjalanan dari bandara menuju hotel sangat menarik karena bisa mengamati kehidupan masyarakatnya. Sao Paulo ternyata bersih, mengingatkan saya dengan Singapura. Penduduknya pun juga dari etnis yang beragam, jadi gak melulu berwajah ala Gisele Bundchen dan Adriana Lima. Penduduk aslinya saja Indian. Oh ya, Brazil ternyata memiliki komunitas Jepang terbesar setelah negara Jepang. Di tahun 2007 saja, jumlah warga keturunan Jepang di Sao Paulo lebih besar daripada total keseluruhan penduduk Peru.
Setelah 1 jam perjalanan, akhirnya sampailah kami di Hotel Unique. Hotel berbentuk kapal raksasa ini termasuk kebanggaan warga Sao Paulo karena dibangun oleh Ruy Ohtake, arsitek turunan Jepang yang ternama di Brazil. Dari kejauhan sudah terlihat rombongan turis sibuk berfoto narsis di pelataran parkir. Saya jadi tidak sabar untuk ikutan.
Hotel Unique beraliran minimalis dimana sebagian besar gedung terbuat dari kaca yang memberikan pencahayaan natural pada siang hari. Saya agak kecewa dengan kamar hotelnya. Dengan harga US$400 semalam (tidak termasuk sarapan), kamarnya kecil, dan tidak menyediakan kopi, kettle, ataupun air putih yang merupakan standar hotel-hotel berbintang lainnya. Tapi memang bentuk kamarnya sangat unik karena partisi antara kamar tidur dan kamar mandi bisa dilipat, sehingga bisa mandi berendam dalam bath tub sambil nonton acara TV.
Menjelang sore saya dan rekan kerja mulai kelaparan sehingga kami memutuskan untuk mencoba Skye Restaurant yang berada di lantai teratas hotel. Menurut rekomendasi dari beberapa majalah yang kami baca di dalam pesawat, restaurant ini sangat populer di kalangan warga Sao Paulo kelas atas, khususnya sebagai tempat berkencan. Benar saja. Di restaurant itu ada balkon dengan tempat duduk dan kolam renang kecil dengan pemandangan indah kota Sao Paulo.
Di Skye Restaurant saya mencoba Brazilian Pizza yang menggunakan bahan utama keju Brazil. Rasanya enak, tetapi setelah potongan kedua, sudah mulai neg, padahal porsinya satu loyang besar. Ketika memutuskan untuk membawa pulang sisa pizza itu, pelayan mengatakan bahwa mereka tidak menyediakan Doggy Bag. Jadi mau tidak mau porsi itu harus dihabiskan. Kenyang sekali. Tapi yang paling menyebalkan adalah ketika diberikan sekeranjang roti yang kami kira gratis dan ternyata harganya selangit.
Hotel Unique memang hotel yang unik. Tapi dengan harga semahal itu rasanya tidak sepadan. Banyak sekali hotel yang lebih murah dengan pelayanan yang jauh lebih memuaskan. Tapi kalau anda mau mencoba sesuatu yang berbeda atau mau melihat ekspresi kagum orang lokal tiap kali anda bercerita kalau sedang nginep di Hotel Unique, yang silahkan saja. Tapi jangan lama-lama ya, nanti bangkrut.
kamarnya unik spt nama hotel & pizzanya terlihat lezat dit 🙂
service hotelnya kurang bagus loh. Rasanya over priced. Tapi pizza nya emang enak banget
Bentuknya mirip banget sama museum tsunami di Aceh ya. Keren.
~visit my blog here: http://adiedoes.blogspot.com/~
Wah gara2 km kasih tau jadi lgs google museum tsunami aceh. Bagus bgt ya.